Masjid Shiratal Mustaqiem
adalah masjid tertua di Samarinda yang terletak di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Masjid ini dibangun pada tahun 1881.
Sejarah
Sekitar tahun 1880 silam, datang
seorang pedagang muslim dari Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) bernama Said Abdurachman bin Assegaf ke Kerajaan
Kutai. Berdasarkan pertimbangan berdagang sembari menyiarkan Agama Islam, ia memilih kawasan Samarinda Seberang
sebagai tempat tinggalnya. Hal itu ditanggapi dengan baik oleh Sultan Kutai Aji
Muhammad Sulaiman. Melihat ketekunan dan ketaatan
Said Abdurachman dalam menjalaankan syariat agama Islam, sultan akhirnya
mengizinkan Said Abdurachman tinggal di kawasan Samarinda Seberang.
Mengemban amanat sebagai tokoh
masyarakat bergelar Pengeran Bendahara, Said Abdurachman mempunyai tanggungjawab
besar. Dulu wilayah ini adalah tempat maksiat. Orang kampung hampir tak ada
yang berani ke wilayah ini karena takut. Tapi tidak dengan Pangeran Bandahara.
Beliau malah mendatangi mereka yang berjudi dan mengajaknya untuk menjalankan
syariat Islam.
Setelah berunding, akhirnya
disepakati menjadikan tempat itu sebagai masjid untuk ibadah. Proses
pembangunan masjid tersebut tentunya tak mudah. Kendati bergotong royong, untuk
mendirikan 4 tiang utama atau yang disebut soko guru yang diperkirakan mempunyai
tinggi 7 meter, warga tak sanggup karena besarnya tiang.
Hingga akhirnya datang seorang nenek
dengan menggunakan jubah putih ke hadapan mereka. Siapa dia tak ada yang tahu.
Namun ia berpesan kepada Pengeran Bendahara dan sejumlah pengikutnya.
Disebutkan, ia akan membantu mendirikan 4 tiang utama tersebut dengan syarat
tak ada satu wargapun yang melihat prosesi pendiriannya.
Keesokan harinya, sejumlah warga
tertegun melihat 4 tiang utama sudah berdiri tegak. Bahkan saat warga mencoba
mencari sosok seorang nenek tersebut, mereka tak kunjung menemukannya. Sehingga
warga tak ada yang tahu pasti siapa dia.
Sepuluh tahun kemudian atau tepatnya
27 Rajab 1311 Hijriyah, pembangunan masjid akhirnya rampung. Sultan Kutai Aji
Mohammad Sulaiman yang meresmikan masjid tersebut juga didaulat menjadi imam
dan memimpin salat yang pertama di masjid tersebut.
Tempat ibadah umat Islam itu
diketahui terbuat dari bahan Ulin
yang digunakan sebagai bahan utama pembangunan masjid diambil
dari empat kampung,
diantaranya Karang Mumus,
Dondang, Kutai Lama,
dan Loa Haur.
Hingga saat ini arsitektur masjid
yang selesai dibangun tahun 1891
itu tak ada yang berubah. Kendati ada perawatan yang dilakukan. Bahkan masjid
bersejarah kedua terbaik se-Indonesia itu, menjadi lokasi yang sakral bagi
warga setempat.
Masjid ini memiliki luas bangunan sekitar 625
m² dan teras sepanjang 16 meter.
Mulanya di lokasi ini dipilih karena diketahui sebagai sarang perjudian dan tempat
penyembahan berhala. Karena itu, maka ketiga tokoh tersebut membangunnya agar
dapat menghentikan kegiatan maksiat dan sesat tersebut. Buktinya, setelah
terbangun (Masjid Shiratal Mustaqiem), ternyata kegiatan maksiat pun
menghilang dan wilayah ini (Kampung Mesjid)
semakin populer kala itu. Karena kepolulerannya itulah, maka daerah tempat
berdirinya masjid ini diberi nama Kampung Mesjid dan kini menjadi kelurahan Mesjid.
Nenek Dirikan 4 Pilar
Masjid Sirathal Mutaqiem
Menapak Jejak Sejarah di Kaltim
(2)
SIAPA sangka lokasi Masjid Sirathal Mustaqiem yang dikenal sebagai masjid
tertua di Kaltim, dulunya adalah tempat maksiat. Selain digunakan sebagai
wadah sabung ayam, kawasan itu juga dijadikan ajang berjudi. Namun
bagaimanakah tempat itu dapat berubah dan menjadi pusat siar agama Islam ? SEKITAR tahun 1880 silam, datang seorang pedagang muslim dari Pontianak, Kalimantan Selatan Barat (Kalbar) bernama Said Abdurachman bin Assegaf ke Kerajaan Kutai. Berdasarkan pertimbangan berdagang sembari menyiarkan Agama Islam, ia memilih kawasan Samarinda Seberang sebagai tempat tinggalnya. Hal itu ditanggapi dengan baik oleh Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman. Melihat ketekunan dan ketaatan Said Abdurachman dalam menjalaankan syariat agama Islam, sultan akhirnya mengizinkan Said Abdurachman tinggal di kawasan Samarinda Seberang. Mengemban amanat sebagai tokoh masyarakat bergelar Pengeran Bendahara, Said Abdurachman mempunyai tanggungjawab besar. "Dulu wilayah ini adalah tempat maksiat. Orang kampung hampir tak ada yang berani ke wilayah ini karena takut. Tapi tidak dengan Pangeran Bandahara. Beliau malah mendatangi mereka yang berjudi dan mengajaknya untuk menjalankan syariat Islam," ungkap H Zainuddin Abdullah yang saat ini menjadi Imam Masjid Shirathal Muataqiem. Setelah berunding, akhirnya disepakati menjadikan tempat itu sebagai masjid untuk ibadah. Proses pembangunan masjid tersebut tentunya tak mudah. Kendati bergotong royong, untuk mendirikan 4 tiang utama atau yang disebut soko guru yang diperkirakan mempunyai tinggi 7 meter, warga tak sanggup karena besarnya tiang. Hingga akhirnya datang seorang nenek dengan menggunakan jubah putih kehadapan mereka. Siapa dia tak ada yang tahu. Namun ia berpesan kepada Pengeran Bendahara dan sejumlah pengikutnya. Disebutkan, ia akan membantu mendirikan 4 tiang utama tersebut dengan syarat tak ada satu wargapun yang melihat prosesi pendiriannya. "Tahun 1881 masjid ini (Sirathal Mustaqiem) dibangun, kendalanya pada pembangunan 4 tiang utama. Entah malaikat atau apa, datang seorang nenek. Ia berpesan kepada seluruh warga agar pada malam itu tidur di rumah masing-masing dengan nyenyak," ulasnya. Keesokan harinya, sejumlah warga tertegun melihat 4 tiang utama sudah berdiri tegak. Bahkan saat warga mencoba mencari sosok seorang nenek tersebut, mereka tak kunjung menemukannya. Sehingga warga tak ada yang tahu pasti siapa dia. Sepuluh tahun kemudian atau tepatnya 27 Rajab 1311 Hijriyah, pembangunan masjid akhirnya rampung. Sultan Kutai Aji Mohammad Sulaiman yang meresmikan masjid tersebut juga didaulat menjadi imam dan memimpin salat yang pertama di masjid tersebut. Hingga saat ini arsitektur masjid yang berdiri tahun 1891 itu tak ada yang berubah. Kendati ada perawatan yang dilakukan. Bahkan masjid bersejarah kedua terbaik se Indonesaia itu, menjadi lokasi yang sakral bagi warga setempat. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar