Minggu, 21 Juni 2015

MASJID SHIRATAL MUSTAQIEM, MASJID TERTUA YANG DIBANGUN DENGAN PENUH MISTERI



Warga muslim di Kota Samarinda tentu mengenal Masjid Shirathal Mustaqiem, karena masjid keramat dan tertua di Kota Samarinda, Kalimantan Timur ini dulunya menjadi pusat ajaran Islam pertama di Kerajaan Kutai.

Kisah pembangunannya pun menarik untuk disimak karena tak lepas dari hal supranatural dan di luar nalar manusia.

Kisah pembangunan masjid ini diturunkan secara turun temurun dan selalu menjadi cerita yang terus didengar di lingkungan sekitar masjid. Kisah-kisah itu kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Pemerintah Kota Samarinda.

Dalam catatan sejarah yang tertuang dalam buku kilas sejarah Masjid Shirathal Mustaqiem Samarinda, masjid ini mulai dibangun pada 1881 dan selesai 10 tahun kemudian. Kisah yang paling sering diceritakan adalah proses mendirikan empat pilar utama masjid ini.

Menurut Ketua Ikatan Remaja Masjid (Irma) Shirathal Mustaqiem, Abdurrahman Amin, saat Islam sudah mulai menyebar di Kerajaan Kutai, datanglah seorang saudagar kaya dari Pontianak, Kalimantan Barat yaitu Said Abdurachman bin Asegaf.
Karena belum adanya pusat kegiatan Islam di kawasan Samarinda Seberang membuat saudagar yang juga ulama ini berinisiatif membangun masjid.

Setelah berunding, akhirnya diputuskan pembangunan masjid pada sebidang tanah. Namun lahan ini sehari-hari digunakan untuk berjudi. Jika siang hari untuk judi sabung ayam, malam harinya dijadikan judi dadu. “Untuk menutup lokasi perjudian itu, dan mengurangi masyarakat berjudi, dipilihlah lokasi ini untuk dibangun masjid oleh Said Abdurachman. Pengumuman pun dibuat agar warga ikut membantu pembangunannya,” kata Abdurahman. Untuk membangun masjid dibutuhkan empat pilar utama. Satu pilar harus terbuat dari kayu yang dibuat dari sebuah pohon utuh.

Sayangnya, setelah persiapan dilakukan, pilar yang tersedia hanya ada tiga. Tiga pilar itu sudah berdiri tegak. “Tiga pilar ini sumbangan dari berbagai warga yang ingin terlibat. Ada yang dari hulu Sungai Mahakam, ada juga yang dari hilir.

Sayangnya yang terkumpul baru tiga, jadi kurang satu pilar lagi,” timpalnya.
Di tengah kebingungan mencari pilar keempat, datanglah seorang nenek yang berusia sepuh. Nenek ini kemudian menawarkan satu pilar lagi. Warga yang sedang gotong royong membangun masjid awalnya tak percaya. “Nenek ini meminta agar semua yang ikut gotong royong pulang saja dulu. Dia menjanjikan pilar keempat akan sudah berdiri keesokan harinya,” tukas Abdurahman.

Keesokan hari, saat cahaya pagi mulai muncul, warga berbondong-bondong mendatangi masjid. Betapa terkejutnya mereka karena pilar keempat itu berdiri tegak, simetris dengan tiga pilar lainnya. Pembangunan pun dilanjutkan hingga tuntas pada 1891.

Jauh sebelum kedatangan Habib Said Abdurachman, para ulama Sulawesi Selatan dari Kerajaan Gowa-Tallo juga telah berupaya mengislamkan Kerajaan Kutai pada akhir abad ke-16.

Di awal abad ke-17, tepatnya pada 1607 Islam sudah menyebar di Kutai Kartanegara dengan lebih dulu mengIslamkan Sultan Kutai kala itu yaitu Sultan Adji Raja Mahkota.

Kemudian pada 1668 datanglah saudagar asal Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan La Mohang Daeng Mangkona.

Berdasarkan penuturan Abdurahman Amin, kedatangan Daeng Mangkona, sapaan untuk La Mohang Daeng Mangkona, bertujuan meminta izin ke Sultan Kutai untuk tinggal di Kutai Lama. Daeng Mangkona memilih meninggalkan Wajo karena terjadi pergulatan politik di sana.

Sultan Kutai pun menyetujui, lalu bersama pasukannya Daeng Mangkona kemudian mampu membantu Kerajaan Kutai mengusir perompak asal Solok, Filipina.
“Atas jasa itulah, Daeng Mangkona dan pengikutnya diberi daerah otonom di Samarinda seberang bagian ulu. Daeng Mangkona yang juga memiliki pemahaman Islam yang kuat kemudian membangun perkampungan di daerah itu,” kata Abdurahman.

Dia menambahkan, pemukiman ini kemudian berkembang pesat dan menjadi pusat syiar Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara. Sayangnya, belum ada pusat syiar Islam seperti masjid.

“Kedatangan Said Abdurachman inilah yang kemudian memunculkan inisiatif pembangunan masjid. Lagi pula, di kawasan itu belum ada masjid, sehingga warga kesulitan menggelar salat Jumat,” kata Abdurahman yang juga menjabat Pemimpin Redaksi sebuah koran lokal di Kaltim.

Karena kekayaan dan kedermawanannya dalam membantu menyiarkan Islam, lalu Said Abdurachman kemudian diberi gelar Pangeran Bendahara. Begitu masjid ini berdiri, kawasan Samarinda Seberang makin menjadi pusat kegiatan Islam di Kutai Kartanegara.

Imam pertama masjid ini adalah Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang kini diabadikan menjadi nama bandara di Kota Balikpapan.
“Informasi berdirinya masjid ini menyebar ke mana-mana. Banyak warga dari daerah lain yang datang menggunakan perahu untuk salat Jumat. Makanya kampung ini lebih dikenal dengan nama Kampung Masjid. Kini daerah itu diberi nama Kelurahan Masjid,” kata Abdurahman.
Hingga kini, masjid itu masih berdiri tegak. Meski direnovasi beberapa kali, namun tetap mempertahankan wujud asli bangunannya.

Ada kisah versi lain dalam pembangunan empat pilar itu. Di buku Kilas Sejarah Masjid Shirathal Mustaqiem Samarinda yang diterbitkan Pemkot Samarinda, kehadiran nenek itu bukan membawa pilar ke-empat. Namun mendirikan seluruh pilarnya.

Saat bergotong royong, warga kesulitan mendirikan empat pilar yang tingginya 15 meter dan berdiameter 60 centimeter.
Di tengah kesulitan mendirikan pilar, nenek itu datang menawarkan diri. Dia mengaku sanggup mendirikan empat pilar itu sendirian.

Meski awalnya ditertawakan, akhirnya nenek itu diberi kesempatan. Dia berjanji bisa mendirikan pilar hanya dalam semalam.

Terbukti, keesokan paginya, warga terkaget-kaget melihat empat pilar itu sudah berdiri tegak. Pembangunan masjid pun dilanjutkan hingga tuntas.

“Versi cerita memang ada dua. Namun yang kami dengar secara turun temurun di lingkungan sekitar masjid ya nenek itu yang membawa pilar keempat,” kata Abdurrahman yang tinggal tak jauh dari Masjid Shirathal Mustaqiem.
Usai membantu pembangunan masjid, nenek itu langsung menghilang. Tak pernah ada warga yang melihat kembali sang nenek.
Oleh Pemerintah Kota Samarinda, Masjid Shirathal Mustaqiem kemudian ditetapkan sebagai cagar budaya.
Tempat ini kemudian dijadikan wisata sejarah, berdampingan dengan pusat pembuatan sarung tenun Samarinda.

Senin, 15 Juni 2015

TOLERANSI BERAGAMA DI SAMARINDA

Melalui forum ini, Anda akan menemukan banyak contoh intoleransi agama dengan beberapa kasus yang terjadi sampai sampai terjadi konflik horisontal baik antar agama maupun antar etnis/suku yang sampai menelan korban jiwa yang tidak berdosa.

Di sisi lain, Anda juga sering mendengar orang membahas tentang suatu kota/daerah dengan tingkat Toleransi yang tinggi terhadap beragam agama dan etnis/suku.

Dalam hal ini saya ingin menjelaskan bagaimana Kota Samarinda merupakan Kota yang sesuai dengan mottonya yaitu "TEPIAN" (TEduh, raPI, Aman, dan Nyaman). Kota Samarinda mempunyai Penduduk Pendatang dari berbagai suku/etnis yang berbeda-beda, ada Suku Kutai, Bugis, Banjar, Jawa dsb. bahkan hampir dikatakan bahwa seluruh suku/etnis di Indonesia hampir semuanya ada di Kota Samarinda. begitu juga dengan Agama yang dipercaya / dianut oleh berbagai suku / etnis yang bermukim di Kota Samarinda.

Pernah memang terjadi gesekan-gesekan kecil antara satu suku/etnis dengan suku lainnya, tapi tidak sampai menjadi persoalan yang besar hingga menjadi konflik yang berkepanjangan ataupun sampai menjadi issu nasional. bahkan salahsatu organisasi masyarakat yang berbasis agama yang dianggap ekstrimpun tidak terlalu berpengaruh di wilayah ini, bahkan organisasi masyarakat ini turut serta menjaga keamanan dan kedamaian masyarakat yang bermukim di Kota Samarinda ini.

Indonesia dipuji karena keragamannya. Ini juga berlaku untuk toleransi beragama. Banyak daerah yang jauh dari Jawa dan Sumatera akan menunjukkan toleransi yang jelas.

Berikut adalah Bangunan yang berbeda dengan konotasi agama dapat Anda temukan di Kota Samarinda. Semua sangat terlihat dan, dari apa yang saya tahu, tidak pernah terjadi yang namanya pengrusakanpenistaan ataupun hal-hal yang mengganggu terhadap ketertiban dan keamanan, baik yang sifatnya kepada antar suku/etnis maupun terhadap agama maupun kepercayaan yang masing-masing diyakini dan dianut oleh ummat. .

Ini hanya sebuah contoh dari bangunan/tempat beribadah yang dibangun di Kota Samarinda yang saya tahu, dan memiliki keistimewaan dari ragam agama dan kepercayaan yang dipercayai oleh warga yang bermukim di Kota Samarinda.

VIHARA EKA DHARMA MANGGALA SAMARINDA
BUDDHIST CENTER SAMARINDA
KLENTENG

Kuil Cina ini adalah salah satu tertua yang saya tahu. !
Klenteng ini ditempatkan tepat di depan pintu gerbang kota; Pelabuhan Kota  untuk penumpang. Siapa pun yang datang di Samarinda dengan Kapal ataupun perahu, ini akan menjadi pandangan yang pertama dilihat.



PURA TEMPAT UMMAT HINDU 
Salahsatu Tamu yang berkunjung di Buddhiest Center sempat menunaikan Sholat 

Lebih ke Hulu di jalan yang sama, di tepi sungai, dibangun "Islamic Center". Samarinda, sebagai ibukota timur Kalimantan, telah membuat beberapa upaya untuk menarik wisatawan. Masjid besar ini merupakan Masjid terbesar ke 2 (dua) di Asia Tenggara setelah Masjid Istiqlal di Jakarta. Sangat Indah dari segi arsitektur.


ISLAMIC CENTER SAMARINDA

GEREJA KATEDRAL SAMARINDA














KELENTENG THIEN IE KONG Samarinda Masuk Dalam Cagar Budaya

Kelenteng Thien Ie Kong yang berada di Kota Samarinda dan dibangun sejak jaman penjajahan Belanda termasuk  salah satu Cagar Budaya Kaltim yang perlu dilestarikan karena telah berusia 110 tahun. Bangunan yang berdiri sejak tahun 1905 tersebut masih berdiri kokoh walaupun pernah hampir terkena  bom Jepang yang dijatuhkan untuk menghancurkan pabrik pengolahan minyak goreng yang berada dibelakang kelenteng.



Ketua Kelenteng Thien Ie Kong,  mengatakan pada saat perayaan Imlek 2563 tahun ini, kelenteng Thien Ie Kong juga ramai mengadakan berbagai kegiaan keagamaan seperti sembahyang arwah umum, menyambut tahun baru Imlek, menyambut Dewa  Sing Beng turun dari langit, pembukaan malam purnama raya, Hari Raya Waisak, Hari Raya Tiong Chiu, Hari Raya Kongco Kong Tik Cun Ong, Hari Raya Gwan Siau.


“Kelenteng ini dibangun dari swadaya warga Tionghoa di Samarinda pada waktu ini, sehingga nama-nama penyumbang diabadikan di dinding klenteng,” jelasnya. Melihat usianya yang telah mencapai satu abad lebih, Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur dan Badan Kepurbakalaan telah menetapkan kelenteng ini sebagai bangunan cagar budaya yang harus dilestarikan keberadaannya untuk mempertahankan nilai-nilai sejarah yang ada.

Sebagai bangunan cagar budaya, kelenteng ini kerap dikunjungi turis dari manca negara. Biasanya, wisatawan mengunjungi kelenteng ini sebelum melanjutkan perjalan wisata ke daerah wisata di pedalaman Kaltim. Selain turis dari mancanegara, masyarakat lokal pun sering berkunjung sekadar untuk berfoto di dalam dan sekitar kelenteng.



Kelenteng yang berada di Jalan Yos Sudarso Samarinda terletak di  muara Sungai Karang Mumus dan Sungai Mahakam ini bahan bangunannya  terbuat dari kayu yang  didatangkan khusus dari negeri Cina. Bahkan, rangkaian bangunan sudah dibuat dari negeri asalnya. Di Samarinda, kayu-kayu tersebut dirangkai menjadi satu. Uniknya, sambungan rangka tiang pada bangunan ini tidak menggunakan paku dari besi. Semuanya menggunakan pasak kayu, bahkan  engsel pintu pun terbuat dari kayu.



“Kelenteng ini tidak saja selalu ramai oleh wargaTionghoa, tetapi juga masyarakat yang sekitar yang ingin bersantai di bagian belakang klenteng. Para orangtua sering melakukan pertemuan di gazebo dan para remaja berolahraga,”.